Ketika mendengar kata “Perbatasan”, mungkin pandangan sebagian banyak orang adalah lemahnya rasa nasionalisme yang mereka miliki. Sebagian orang tersebut mungkin berpikir bahwa masyarakat disana mempunyai rasa nasionalisme yang lemah terhadap negaranya sendiri dan malah mencintai negara sebelahnya...
Ketika mendengar kata “Perbatasan”, mungkin pandangan sebagian banyak orang adalah lemahnya rasa nasionalisme yang mereka miliki. Sebagian orang tersebut mungkin berpikir bahwa masyarakat disana mempunyai rasa nasionalisme yang lemah terhadap negaranya sendiri dan malah mencintai negara sebelahnya.
Ketika di seberang sana masyarakat melihat negara tetangganya yang ramai dengan hiruk pikuk, kebutuhan yang mudah didapat, sarana yang cukup lengkap hingga listrik yang setiap hari selalu menyala dan menerangi gelapnya ketika saat tiba waktu malam. Keadaan tersebut justru berbanding terbalik dengan dengan kondisi tempat tinggalnya yaitu Indonesia. Suasana yang sepi, kebutuhan yang serba terbatas, hingga listrik yang terkadang mati ketika saat malam menjadi keseharian yang mereka alami dan mereka rasakan.
Tetapi dibalik cerita tersebut dan dengan kondisi seperti itu, jangan pernah berpikir bahwa rasa nasionalisme itu luntur atau bahkan hilang. Justru dengan kondisi seperti itulah yang malah membuat nasionalisme masyarakat dan anak-anak semakin tinggi.
Mungkin anak-anak disana (diluar daerah perbatasan) menganggap nasionalisme itu hanya sebuah materi pelajaran yang harus diikuti dan dipelajari, yang hanya bisa diucapkan tanpa bisa memaknai nasionalisme tersebut. “Saya cinta indonesia” merupakan hal yang sering mereka ucapkan, tetapi mereka tidak tahu apa dibalik ucapannya tersebut. Terutama bagaimana cara mengamalkan bahwa aku mencintai indonesia. Berbeda dengan anak-anak di perbatasan ini, mereka merasakan sendiri bagaimana perih dan susahnya menjalani kesehariannya di Indonesia. Rasa nasionalisme bukan mereka anggap sebagai mata pelajaran, tetapi rasa nasionalisme itu harus tertanam di dalam hati-hati mereka. Apabila rasa nasionalime anak-anak di perbatasan hanya sekedar dijadikan mata pelajaran, mungkin daerah tersebut tidak lagi bernama Indonesia.
Salah satu daerah yang berbatasan langsung dengan negara lain adalah Kabupaten Nunukan. Nunukan merupakan salah satu kabupaten yang berbatasan langsung dengan negara Malaysia bagian Sabah dan Serawak. Nunukan merupakan sebuah kabupaten yang cukup luas, dengan luas daerah 14.263,68 Km2. Memang apabila kita cermati karakteristik fisik pulau Kalimantan, banyak sekali daerah-daerah yang masih belum bisa terjangkau dengan jalan darat. Padahal pulau Kalimantan ini merupakan daratan terbesar yang dimiliki negara Indonesia. Bahkan di Nunukan sendiri, ada daerah yang hanya bisa dijangkau melalui jalur udara, karena belum adanya akses melewati jalur darat maupun laut.
Banyak daerah di Kabupaten Nunukan yang bisa dikategorikan sebagai daerah terpencil karena sulitnya akses menuju kesana. Tetapi di daerah terpencil inilah kita bisa melihat perjuangan masyarakat yang begitu besar dalam menjalani kesehariannya. Terutama anak-anak yang masih bersekolah. Di daerah yang terpencil, setiap hari kita bisa melihat semangat anak-anak yang begitu besar dalam menuntut ilmu. Seakan-akan mereka mempunyai semangat dan kekuatan besar yang mendorong mereka untuk terus semangat menuntut ilmu.
“Capek”. Itu merupakan kata yang sudah lama mereka lupakan. Seakan kata capek tersebut sudah tidak pernah mereka ucapkan lagi. Bagaimana tidak, hampir setiap hari anak-anak di perbatasan ini harus berjuang lebih keras untuk menuju sekolah dibandingkan anak-anak yang berada di perkotaan. Jarak yang jauh menuju sekolah bukan menjadi penghalang mereka dalam menuntut ilmu, begitu juga kondisi yang berbahaya bahkan sudah tidak pernah mereka hiraukan lagi.
Sei Menggaris merupakan salah satu kecamatan yang berada di Kabupaten Nunukan. Dari pusat kota Kabupaten Nunukan menuju kecamatan Sei Menggaris hanya bisa ditempuh melalui jalur sungai. Karena tidak ada akses darat menuju Sei Menggaris. Ada beberapa kendaraan yang bisa digunakan untuk mencapai Sei Menggaris. Sebagian besar masyarakat Sei Menggaris biasa memakai jasa Speed Boat.Karena waktu di perjalanan terhitung cepat apabila dibandingkan dengan kapal muatan yang bersubsidi, meskipun ongkos Speed Boat hampir tiga kali lipat dengan kapal bersubsidi.
Di Sei Menggaris puluhan anak-anak harus berangkat jauh menuju sekolah. Puluhan kilometer harus mereka lewati menuju sekolah. Itupun bukan jalanan yang bagus serta aman untuk dilewati. Jalanan yang berdebu sepanjang 21 Km menjadi jalur yang setiap hari mereka lewati. Diantar oleh tukang ojek yang harus mereka sewa setiap harinya. Apabila tidak ada uang untuk membayarnya, maka tidak sekolahlah anak tersebut. Setelah itu mereka harus melewati jembatan yang memang saya rasa sudah tidak layak untuk dilewati. Jembatan yang terbuat dari kayu dengan kondisi yang sudah miring. Kemiringannya hampir 30 derajat, yang setiap saat bisa menjatuhkan mereka kedalam sungai.
Tak sampai disitu, mereka setiap hari harus menyeberang juga melewati sungai. Hanya satu Perahu kecil yang menjadi transportasi utama mereka untuk menyebrang melewati sungai. Satu Perahu tersebut bergantian mengantarkan anak-anak yang akan berangkat sekolah. Apabila kita membayangkan perahu tersebut rusak ketika mengantarkan anak-anak yang hendak menyebrang, itu akan menjadi kondisi yang akan sangat membahayakan. Kita tahu kondisi sungai kalimantan, Dibawah sungai sana sudah siap hewan-hewan bergigi tajam yang kapan saja bisa memangsa mereka. Tetapi kondisi tersebut sudah tidak mereka hiraukan lagi. Mereka merasa senang saja ketika setiap hari harus melewati bahaya.
Namun apalah daya mereka. Fasilitas yang sangat minim bukan menjadi salah satu halangan mereka untuk berhenti sekolah. Mereka hanya mempunyai mimpi untuk menjadi orang yang sukses di kemudian harinya. Meskipun orang tuanya tidak mampu, anak-anak tersebut memaksakan untuk belajar, meski setiap hari mereka tidak bisa jajan seperti anak-anak lain, Mereka juga tidak bisa berangkat sekolah dengan nyaman seperti anak-anak lain.
Meskipun kondisinya demikian. Itu bukan menjadi alasan mereka untuk tidak mencintai negara Indonesia tempat kelahirannya. Justru itu menjadi tambahan semangat mereka dalam menuntut ilmu. Dan bahkan mereka mempunyai keinginan dan cita-cita yang besar untuk memperbaiki dan memajukan negara Indonesia di generasi yang akan mendatang.
Sungguh apabila kita hayati, perjuangan dan pengorbanan mereka sangatlah besar dalam menuntut ilmu. Maka tidak heranlah nasionalisme anak-anak di perbatasan ini sungguh sangat besar. Warna merah yang berarti berani, sudah mengalir didalam darah mereka yang sampai saat ini mereka masih berani melawan bahaya ketika menuntut ilmu, dan warna putih yang berarti suci, sudah tertanam didalam hati mereka yang sampai saat ini mereka berusaha untuk menjadi generasi penerus bangsa. (Dena Fadillah Sekolah Guru Indonesia (SGI) Dompet Dhuafa)
Editor: Uyang
(tuti)